novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Ketika kami meminta mereka berhenti, raut keduanya tampak kaget. Si bapak seketika turun. Istrinya melakukan hal yang sama, dan cepat mengambil posisi di belakang, seolah mencari perlindungan dari sosok kurus si bapak yang kini terlihat heroik dan gagah di mata saya. Saya dan sahabat-sahabat rumah cahaya sempat bercakap-cakap dengan pasangan suami istri ini. Dugaan terdahulu saya benar, berduaan mereka telah menempuh perjalanan cukup jauh untuk berdagang makanan di suatu tempat.

Ah, berapa lama mereka sudah bersama? Paling sedikit tiga puluh tahun, pikir saya sambil mengamati sepeda tua yang catnya telah mengelupas dan kedua bannya nyaris gundul.

Ketika salah seorang dari kami mengulurkan kantung plastik hitam yang tidak seberapa itu, wajah dua orang tua itu langsung saja tersenyum. Rasa syukur mereka wujudkan dengan kalimat hamda-lah dan terima kasih berulang-ulang.

Saya melihat si ibu menerima bingkisan sambil melempar pandangan ke arah suaminya, penuh arti.

Kehidupan mereka pasti tak mudah, batin saya sambil merayapi guratan usia di wajah keduanya.

Garis-garis yang lahir ditempa kerasnya kehidupan di Jakarta.

Tapi kemesraan sederhana namun indah yang sampai ke mata saya dan teman-teman, terlalu rne-nyolok untuk luput dari perhatian.
Dengan pemikiran seperti itu, saya melepas mereka.

Kaki kurus si bapak kembali menggenjot sepeda, di belakangnya sang istri duduk dengan sebelah tangan memegang erat-erat beberapa barang.

Dan barangkali seperti ribuan hari sebelumnya, sebelah tangannya yang lain, diantara kantung plastik lain yang memenuhi tangannya, berusaha menggapai pinggang bapak tua.
–o0o–
Song Gwang Sa Temple, 3 September 2006

Pertemuan dengan bapak dan ibu tua yang berboncengan sepeda, menarik ingatan saya pada pasangan lain yang meninggalkan kesan serupa beberapa bulan sebelumnya.

Fieldtrip terakhir bersama rombongan Writers in Residence. Ada beberapa tempat yang telah ditentukan oleh Yea Jin, program manajer kami selama di Korea, untuk dikunjungi: Oedo island, Bosung Tea Farm, dan dua temple terkenal.

Tempat-tempat yang indah. Oedo Paradise Island merupakan pulau pribadi yang seperti namanya, dibangun menyerupai bayangan surga oleh pemiliknya. Saya yakin hanya dengan cinta dan kesungguhan pulau yang konon awalnya tandus bisa ber ubah menjadi surga tanaman tropis, dengan lebih dari 3000 jenis tumbuh-tumbuhan, diantaranya Canellias dan Kaktus.

Masih dengan benak menyimpan keindahan Oe do Island, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Song Gwang Sa Temple.

Saat bis akhirnya berhenti, kami semua turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya ingat hanya berjalan sendirian karena teman-teman lain memutuskan untuk makan siang dahulu.

Tetapi langkah-langkah cepat saya segera terhenti. Ada ‘sesuatu’ di hadapan yang menyita perhatian saya.Satu pemandangan yang bagi sebagian besar pendatang mungkin bukan apa-apa, terbukti begitu banyak orang yang melintas hanya satu dua yang berhenti dan menghampiri. Sepasang pengemis tua yang buta, duduk di atas tikar kecil, tepat di sisi kiri jalan setapak, beberapa meter dari gerbang.

Hati saya langsung berdesir. Ah, cinta seperti apa yang mempertemukan mereka?
Cinta seperti apa pula yang tidak kunjung memisahkan keduanya?

Imajinasi saya sebagai penulis sontak membayangkan betapa suami istri tua itu telah melalui sebagian besar bilangan usia mereka dalam hari-hari yang sulit.
Bukan hanya bahu membahu untuk makan sehari-hari, tetapi juga saling membantu dalam melakukan aktivitas harian yang sederhana. Kesulitan yang semakin menjadi ketika usia bertambah tua.

Barangkali mereka tidak memiliki anak. Hingga suami menjadi tumpuan istri, begitu pun sebaliknya.

Allah, bagaimana jika salah satu sakit? Bagaimana mereka merawat pasangan dalam keterbatasan fisik?

Ketika jalanan semakin sepi, saya melihat keduanya mengobrol. Ada senyum yang sesekali terlihat di wajah sang istri. Senyum yang sama yang terkadang terulas di bibir suaminya. Mungkin mereka membicarakan hal-hal yang lucu. Mungkin juga bergembira membayangkan hasil mengemis hari itu.

Entahlah. Tapi kebersamaan keduanya sungguh di luar nalar saya. Dalam keadaan cacat fisik dan kekurangan materi,apakah yang menjadi sumber kebahagiaan keduanya?

Terlintas di pikiran saya tidak sedikit suami istri yang bertengkar karena kurangnya saling pengertian, saling menyalahkan atas sikap-sikap yang dianggap menyinggung dan tidak berkenan. Atau seperti pasangan-pasangan lain meributkan uang belanja yang tidak cukup, sementara harga-harga sernbako semakin tinggi.

Ahh… sepasang pengemis tua yang buta itu mungkin tidak memiliki apa-apa.Saya yakin sebagian besar di antara kita jauh lebih kaya. Tetapi sesuatu yang teduh dan menenangkan menelusup dalam hati, ketika saya memandang mereka lekat.

Pertemuan dengan kedua pasang suami istri ini telah membuka mata saya terhadap bentuk cinta yang indah.Sungguh, mereka memiliki cinta yang tidak setiap orang memiliki, bahkan oleh orang-orang yang dilimpahi keberkahan materi sekalipun.
Barangkali karena cinta seperti itu hanya diberikan Tuhan kepada mereka yang terpilih.

–o0o–
Mami
“Memang Mami sering menangis di hadapan kami, tapi selalu menangisi orang lain.”

Pengorbanan, Itu yang menjadi catatan pertama, ketika mencoba melakukan kilas balik dan belajar dari kehidupan Mami menjaga perkawinan selama nyaris empat puluh tahun.

Terlahir dengan nama Liauw Min Hoa, ibunda saya adalah putri dari Leo Arifin, pengusaha berdarah Jawa dan Cina yang sukses membangun bisnis transportasinya kala itu.

Menikah dengan Papa barangkali menjadi ke-putusan paling besar dalam hidup Mami. Sebab menikah dengan lelaki berdarah Aceh itu berarti Mami harus meninggalkan tradisi Katholiknya dan menjadi seorang muslim.

Keputusan yang menimbulkan konflik baru: menikah tanpa restu.
Saya membayangkan kisah cinta romantis ketika mengetahui hal ini.

Keberanian Papa,ketabahan dan kekuatan hati Mami.
Pastilah ibunda saya memiliki banyak pertimbangan, kenapa tidak menempuh cara seperti yang belakangan popular di tanah air, pernikahan beda agama. Padahal sebagai gadis belia paras Mami tergolong cantik dan menarik, keturunan keluarga terpandang di Medan pula. Artinya tidak akan sulit bagi Mami untuk mendapatkan pendamping lain.

Dengan kata lain Mami bukan tidak memiliki bargai-ning position ke Papa. Meski mungkin tidak akan mudah, sebab Papa berasal dari keluarga muslim yang dihormati barangkali di seluruh Sumatra. Untuk satu titik temu itulah Mami berkorban.

Dan mengikuti kehidupan gadis Liauw Min Hoa yang kemudian berubah nama menjadi Siti Maryam itu, berarti mengikuti tahap demi tahap kehidupan yang penuh perjuangan dan pengorbanan.Sebab Pa pa dengan profesi pemain musik kala itu tidak bisa memberikan kehidupan mewah yang dulu menjadi ke seharian Mami.

Hijrah ke Jakarta, pasangan itu bertekad hidup mandiri.

Saya masih ingat meski samar, betapa kami berempat (waktu itu adik saya belum lahir); Papa, Mami, saya dan kakak sempat tinggal di wilayah kumuh di samping rel kereta api Gunung Sahari. Sebelum berpindah-pindah dari rumah petak satu (yang hanya memiliki satu kamar, dan kamar mandi di luar menyatu dengan rumah induk) ke rumah petak yang lain.